Sabtu, 23 Mei 2015

Reuni di atas kapal perang




“Kapten Bell, ada kapal terbakar di  kejauhan sana. Coba Kapten lihat, kapal apa itu ?

            “Letnan, itu kapal manusia perahu Vietnam , Hei, apa kau juga lihat mayat-mayat mengapung di sekitarnya?” tanya sang Kapten.

            “Ya, Kapten. Tapi kita sudah mendapat perintah tegas untuk tidak membawa mereka, kita hanya boleh memberi mereka makanan dan air minum saja “kata sang Letnan curiga dengan gelagat Kapten Bell.
           
            “Demi Tuhan, Letnan ! Perintah adalah perintah, tapi lihatlah disana itu! Mayat Mengapung-apung di sekitar kapal mereka. Aku yakin, penumpang lainnya pun pasti akan segera mati kalau kita tidak membawa mereka. Sekarang, Kuperintahkan engkau untuk menarik kapal mereka atau tangan kita yang akan berlumuran darah orang-orang tak bersalah itu! Cepat,Letnan !”


Kisah Itu terdengar mengagumkan, tetapi tak terlalu luar biasa.

            Kisahku ini sedikit banyak mirip dengan cerita mantan Menteri Luar Negeri, Herry Kissinger, yang tiba di New York,Amerika, setelah lolos dari kejaran Nazi atau pengalaman Madeleine Albright yang mencari suaka setelah melarikan diri dari pemerintahan Partai Komunis Cekoslowakia. Meski begitu, Aku tetap berharap cerita perjuanganku ini bisa memberi inspirasi kepada orang lain.

            Aku lahir di sebuah rumah sakit di Chicago, Amerika Serikat, tak lama setelah orangtuaku meninggalkan Vietnam dengan kapal nelayan berukuran 12 meter. Ibu memberi nama panggilan kepadaku ‘Nam-my’ alias ‘Vietnam-Amerika’ karena aku lahir di Amerika dan rupa fisikku yang berbeda dengan saudara-saudara yang lain. Masa kecilku pun berbeda dengan orang-orang Vietnam yang kenangan masa kecilnya penuh dengan pengalaman makan nasi berlauk garam dan bersembunyi di lubang perlindungan. Aku menyukai semua hal yang bernuansa Amerika, Seperti kebanyakan anak-anak Amerika Serikat lainnya, menonton Rainbow Brite dan Transformer  sebelum berangkat sekolah, makan sereal saat sarapan, dan mendapatkan susu secara teratur dari pemerintah Amerika Serikat. Ya, ini adalah sebuah kemewahan yang tidak pernah dirasakan saudara-saudaraku yang lari dari Vietnam di awal tahun 1980-an.

            Layaknya anak-anak Amerika, aku suka bermain sepatu roda, main Slip n’Slide dengan para tetangga Latinku, berbicara bahasa Slang Spanyol yang tak aku temukan pedanannya dalam bahasa Inggris atau  Vietnam, dan menangkap kunang-kunang di teras rumah. Singkatnya, masa kecilku sungguh menyenangkan. Saat itu, tak terbayangkan betapa hidupku akan sangat berbeda tanpa jasa Kapten Bell, 30 Tahun silam.

            Kapten Bell adalah seorang perwira Angkatan Laut Amerika Serikat yang memimpin sebuah kapal perusak bernama USS Morton selama Perang Vietnam berlangsung, Hidupnya bersinggungan dengan hidupku pada suatu hari yang hangat, tanggal 9 Juni 1982, di perairan Laut China Selatan. Hari itu, dengan berani ia mengabaikan intruksi untuk tidak mengangkut pengungsi Vietnam. Kapten Bell membawa keluargaku serta 70 orang lainnya ke penampungan pengungsi Di Filipina. Di penampungan inilah, keluargaku tinggal selama 8 sampai 9 bulan, menanti untuk dibawa ke Amerika Serikat. Nah, ketika tinggal sementara di Filipina, Ibu mulai mengandung diriku.

            Saat-saat kelahiranku merupakan masa sulit bagi seluruh keluarga. Sebagai pendatang baru di Amerika, orangtuaku harus bekerja keras mencari nafkah. Ibu bekerja membersihkan rumah-rumah tetangga, sementara ayah membuka bengkel sepeda, Seiring waktu, aku tumbuh menjadi remaja yang harus mampu memenuhi harapan keluarga. Aku tak tahu, apakah sebaiknya membuka salon perawatan kuku sebagaimana 99% orang Vietnam di Amerika atau melakukan sesuatu yang lebih menarik dengan hidupku ? ya, sesuatu yang membuat perjuangan ibuku lebih berarti. Aku terus mencari jawaban, pandangan, dan petunjuk untuk mengurai masa lalu yang masih menjadi misteri buatku.

            Pada usia 15 tahun, aku pergi dan tinggal di Beijing, Tiongkok. Selama di Beijing, aku pernah mengarungi Sungai Yangtze untuk menemukan jati diri. Kemudian waktu kuliah, aku pindah dari Beijing dan tinggal di Korea Selatan. Aku pergi ke zona demiliterisasi ( perbatasan antara Korsel dan Korut) untuk melihat sedikit suasana Korea Utara dan memahami kehidupan di negara komunis. Setelah puas melakukan perjalanan ke berbagai Negara, aku kembali ke Chicago, kota kelahiranku. Pengalaman yang kudapatkan selama perjalanan mendorongku berbuat sesuatu untuk diri dan keluargaku.

            Niatan itu terwujud. Aku berhasil lulus dengan nilai sempurna dari Universitas Northwestern dan menjadi sarjana hukum yang pertama di keluarga. Perbedaan tajam yang sangat terasa antara kehidupanku di Amerika dan keluarga yang masih ada di Vietnam membuatku bekerja sebagai pendamping perempuan Vietnam korban perdagangan manusia di Taiwan. Ini juga alasan utamaku kuliah lagi di Falkutas Hukum. Keinginanku adalah menolong kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban penindasan.

            Aku yang terlahir disebuah tenda pengungsian di Filipina kini telah menjadi pengacara pertama dalam keluarga besarku. Semua ini terjadi karena jasa Kapten Bell. Karena itu, aku benar-benar ingin bertemu denganya. Pencarian melalui internet memberiku petunjuk bahwa Kapten Bell masih hidup dan tinggal di California. Aku segera mengirim surat elektronik (surel) kepadanya dan mengenalkan diri sebagai anak dari salah seorang pengungsi yang ditolongnya 28 tahun silam. Hampir 28 tahun setelah hari itu, akhirnya aku bertemu dengan Kapten Bell. Berbincang dengannya aku menemukan lebih banyak fakta tentang apa yang terjadi di laut tahun 1982 yang lalu.

            Ketika itu, aku tersadar bahwa seseorang bisa membuat perbedaan besar hanya dengan satu keputusan.

Ibu, misalnya. Ia mengambil keputusan besar dan berisiko tinggi untuk meninggalkan Vietnam demi mendapatkan masa depan yang lebih baik. Lalu, Kapten Bell yang tidak mematuhi perintah guna menolong orang-orang yang tak dikenalnya. Kisah tentang pertolongan Kapten Bell yang kuceritakan ini bukan sekedar bagian dari cerita masa perang Vietnam tapi juga menjadi kisah perjalan hidupku bertemu dengannya.

            Bagiku, cara terbaik untuk menghabiskan waktu yang hanya tersisak 72 jam adalah dengan berada di antara kedua orang luar biasa ini. Ibu dan Kapten Bell adalah pahlawan yang paling berjasa dalam hidupku.

            Karena itu, aku akan memenuhi impian ibu untuk menengok kampung halaman di Vietnam Utara yang sudah 40 tahun ditinggalkannya dengan memesan tiket pesawat kelas satu. Sisi terbaik dari perjalan ini adalah aku dapat menikmati saat berharga bersama ibu, menuliskan pengalamannya di masa perang, dan melukis sosok-sosok pengungsi di atas kapal perang USS Morton saat mereka baru saja di selamatkan, yang kemudian mewariskannya kepada generasi Vietnam-Amerika berikutnya.

            Untuk Kapten Bell, aku akan membelikan cincin dan mengajaknya mengunjungi Vietnam. Tak hanya itu, aku pun merancang sebuah reuni untuk seluruh awak kapal nelayan para pengungsi, dan keluarga besar USS Morton.
           
            Semua Pengungsi Vietnam beserta anak, cucu, bahkan cicit mereka akan berkumpul bersama di atas kapal yang berlabuh tak jauh dari perbatasan Vietnam. Di sanalah kami akan berbagi kisah perang, cerita saat dilaut, dan impian di masa depan. Perjalanan ke Vietnam selama 72 Jam bersama ibu dan Kapten Bell membuatku sangat lega. Misteri dan kepingan sejarah yang selama ini tercecer telah terungkap dan terhubung oleh benang rapuh sejarah. Terima kasih untuk Ibuku tersayang dan Kapten Bell yang berani.

Seseorang bisa membuat sebuah perbedaan besar hanya dengan satu keputusan

0 Energy:

Posting Komentar

© MINGKY CHANDRA 2012 | Blogger Template by Mingky Chandra - Ngetik Dot Com - Nulis