“Letnan, itu kapal manusia perahu
Vietnam , Hei, apa kau juga lihat mayat-mayat mengapung di sekitarnya?” tanya
sang Kapten.
“Ya, Kapten. Tapi kita sudah
mendapat perintah tegas untuk tidak membawa mereka, kita hanya boleh memberi
mereka makanan dan air minum saja “kata sang Letnan curiga dengan gelagat
Kapten Bell.
“Demi Tuhan, Letnan ! Perintah
adalah perintah, tapi lihatlah disana itu! Mayat Mengapung-apung di sekitar
kapal mereka. Aku yakin, penumpang lainnya pun pasti akan segera mati kalau
kita tidak membawa mereka. Sekarang, Kuperintahkan engkau untuk menarik kapal
mereka atau tangan kita yang akan berlumuran darah orang-orang tak bersalah
itu! Cepat,Letnan !”
Kisah Itu terdengar mengagumkan, tetapi tak terlalu
luar biasa.
Kisahku
ini sedikit banyak mirip dengan cerita mantan Menteri Luar Negeri, Herry
Kissinger, yang tiba di New York,Amerika, setelah lolos dari kejaran Nazi atau
pengalaman Madeleine Albright yang mencari suaka setelah melarikan diri dari
pemerintahan Partai Komunis Cekoslowakia. Meski begitu, Aku tetap berharap
cerita perjuanganku ini bisa memberi inspirasi kepada orang lain.
Aku
lahir di sebuah rumah sakit di Chicago, Amerika Serikat, tak lama setelah
orangtuaku meninggalkan Vietnam dengan kapal nelayan berukuran 12 meter. Ibu
memberi nama panggilan kepadaku ‘Nam-my’ alias ‘Vietnam-Amerika’ karena aku
lahir di Amerika dan rupa fisikku yang berbeda dengan saudara-saudara yang
lain. Masa kecilku pun berbeda dengan orang-orang Vietnam yang kenangan masa
kecilnya penuh dengan pengalaman makan nasi berlauk garam dan bersembunyi di
lubang perlindungan. Aku menyukai semua hal yang bernuansa Amerika, Seperti
kebanyakan anak-anak Amerika Serikat lainnya, menonton Rainbow Brite dan Transformer
sebelum berangkat sekolah, makan
sereal saat sarapan, dan mendapatkan susu secara teratur dari pemerintah Amerika
Serikat. Ya, ini adalah sebuah kemewahan yang tidak pernah dirasakan
saudara-saudaraku yang lari dari Vietnam di awal tahun 1980-an.
Layaknya
anak-anak Amerika, aku suka bermain sepatu roda, main Slip n’Slide dengan para tetangga Latinku, berbicara bahasa Slang
Spanyol yang tak aku temukan pedanannya dalam bahasa Inggris atau Vietnam, dan menangkap kunang-kunang di teras
rumah. Singkatnya, masa kecilku sungguh menyenangkan. Saat itu, tak
terbayangkan betapa hidupku akan sangat berbeda tanpa jasa Kapten Bell, 30 Tahun
silam.
Kapten
Bell adalah seorang perwira Angkatan Laut Amerika Serikat yang memimpin sebuah
kapal perusak bernama USS Morton selama Perang Vietnam berlangsung, Hidupnya
bersinggungan dengan hidupku pada suatu hari yang hangat, tanggal 9 Juni 1982,
di perairan Laut China Selatan. Hari itu, dengan berani ia mengabaikan
intruksi untuk tidak mengangkut pengungsi Vietnam. Kapten Bell membawa
keluargaku serta 70 orang lainnya ke penampungan pengungsi Di Filipina. Di
penampungan inilah, keluargaku tinggal selama 8 sampai 9 bulan, menanti untuk
dibawa ke Amerika Serikat. Nah, ketika tinggal sementara di Filipina, Ibu mulai
mengandung diriku.
Saat-saat
kelahiranku merupakan masa sulit bagi seluruh keluarga. Sebagai pendatang baru
di Amerika, orangtuaku harus bekerja keras mencari nafkah. Ibu bekerja
membersihkan rumah-rumah tetangga, sementara ayah membuka bengkel sepeda,
Seiring waktu, aku tumbuh menjadi remaja yang harus mampu memenuhi harapan
keluarga. Aku tak tahu, apakah sebaiknya membuka salon perawatan kuku
sebagaimana 99% orang Vietnam di Amerika atau melakukan sesuatu yang lebih
menarik dengan hidupku ? ya, sesuatu yang membuat perjuangan ibuku lebih
berarti. Aku terus mencari jawaban, pandangan, dan petunjuk untuk mengurai masa
lalu yang masih menjadi misteri buatku.
Pada
usia 15 tahun, aku pergi dan tinggal di Beijing, Tiongkok. Selama di Beijing,
aku pernah mengarungi Sungai Yangtze untuk menemukan jati diri. Kemudian waktu
kuliah, aku pindah dari Beijing dan tinggal di Korea Selatan. Aku pergi ke zona
demiliterisasi ( perbatasan antara Korsel dan Korut) untuk melihat sedikit
suasana Korea Utara dan memahami kehidupan di negara komunis. Setelah puas
melakukan perjalanan ke berbagai Negara, aku kembali ke Chicago, kota
kelahiranku. Pengalaman yang kudapatkan selama perjalanan mendorongku berbuat
sesuatu untuk diri dan keluargaku.
Niatan
itu terwujud. Aku berhasil lulus dengan nilai sempurna dari Universitas
Northwestern dan menjadi sarjana hukum yang pertama di keluarga. Perbedaan
tajam yang sangat terasa antara kehidupanku di Amerika dan keluarga yang masih
ada di Vietnam membuatku bekerja sebagai pendamping perempuan Vietnam korban
perdagangan manusia di Taiwan. Ini juga alasan utamaku kuliah lagi di Falkutas
Hukum. Keinginanku adalah menolong kelompok masyarakat yang rentan menjadi
korban penindasan.
Aku
yang terlahir disebuah tenda pengungsian di Filipina kini telah menjadi
pengacara pertama dalam keluarga besarku. Semua ini terjadi karena jasa Kapten
Bell. Karena itu, aku benar-benar ingin bertemu denganya. Pencarian melalui
internet memberiku petunjuk bahwa Kapten Bell masih hidup dan tinggal di
California. Aku segera mengirim surat elektronik (surel) kepadanya dan
mengenalkan diri sebagai anak dari salah seorang pengungsi yang ditolongnya 28
tahun silam. Hampir 28 tahun setelah hari itu, akhirnya aku bertemu dengan
Kapten Bell. Berbincang dengannya aku menemukan lebih banyak fakta tentang apa
yang terjadi di laut tahun 1982 yang lalu.
Ketika
itu, aku tersadar bahwa seseorang bisa membuat perbedaan besar hanya dengan
satu keputusan.
Ibu, misalnya. Ia mengambil keputusan besar dan
berisiko tinggi untuk meninggalkan Vietnam demi mendapatkan masa depan yang
lebih baik. Lalu, Kapten Bell yang tidak mematuhi perintah guna menolong
orang-orang yang tak dikenalnya. Kisah tentang pertolongan Kapten Bell yang
kuceritakan ini bukan sekedar bagian dari cerita masa perang Vietnam tapi juga
menjadi kisah perjalan hidupku bertemu dengannya.
Bagiku,
cara terbaik untuk menghabiskan waktu yang hanya tersisak 72 jam adalah dengan
berada di antara kedua orang luar biasa ini. Ibu dan Kapten Bell adalah
pahlawan yang paling berjasa dalam hidupku.
Karena
itu, aku akan memenuhi impian ibu untuk menengok kampung halaman di Vietnam
Utara yang sudah 40 tahun ditinggalkannya dengan memesan tiket pesawat kelas
satu. Sisi terbaik dari perjalan ini adalah aku dapat menikmati saat berharga
bersama ibu, menuliskan pengalamannya di masa perang, dan melukis sosok-sosok
pengungsi di atas kapal perang USS Morton saat mereka baru saja di selamatkan,
yang kemudian mewariskannya kepada generasi Vietnam-Amerika berikutnya.
Untuk
Kapten Bell, aku akan membelikan cincin dan mengajaknya mengunjungi Vietnam. Tak
hanya itu, aku pun merancang sebuah reuni untuk seluruh awak kapal nelayan para
pengungsi, dan keluarga besar USS Morton.
Semua
Pengungsi Vietnam beserta anak, cucu, bahkan cicit mereka akan berkumpul
bersama di atas kapal yang berlabuh tak jauh dari perbatasan Vietnam. Di sanalah
kami akan berbagi kisah perang, cerita saat dilaut, dan impian di masa depan. Perjalanan
ke Vietnam selama 72 Jam bersama ibu dan Kapten Bell membuatku sangat lega.
Misteri dan kepingan sejarah yang selama ini tercecer telah terungkap dan
terhubung oleh benang rapuh sejarah. Terima kasih untuk Ibuku tersayang dan
Kapten Bell yang berani.
Seseorang bisa membuat sebuah perbedaan besar hanya dengan satu keputusan
0 Energy:
Posting Komentar